Jumat, 06 November 2015

PENULISAN ILMIAH

PENULISAN ILMIAH
ANALISIS KELAYAKAN JALUR HIJAU DI JALAN MARGONDA

OLEH :
NADIA LISTIARINI
3TB06
26313269
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala rahmat dan karunia yang telah dicurahkan selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah ini. Penulisan ilmiah ini berjudul Analisis Kelayakan Jalur Hijau di Jalan Margonda.
Penulisan ilmiah ini disusun untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah Hukum dan Pranata Pembangunan. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin berterima kasih kepada dosen mata kuliah yaitu Ibu Rehulina Apriyanti yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini dan juga sumber-sumber baik media cetak ataupun media online yang menjadi sumber referensi materi dalam penulisan ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam Penulisan Ilmiah ini, baik dari segi materi, teknis, maupun penyajian bahannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan Penulisan Ilmiah ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga dengan tersusunya Penulisan Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya. Amin
Depok, November 2015
Penulis

Nadia Listiarini



BAB I
PENDAHULUAN

I.              Latar Belakang

Dewasa ini isu mengenai penghijauan kota marak dimunculkan. Di beberapa kota besar, pengembangan ini dilakukan dengan cara pembangunan gedung yang berkonsep green building atau penataan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah salah satu pilihan sebagai serapan air dan penanaman pohon di celah-celah padatnya bangunan perkotaan. Salah satu ruang terbuka hijau yang banyak kita temui adalah jalur hijau. Jalur hijau itu sendiri merupakan daerah yang berada di pinggir jalan yang ditanami pepohonan sebagai pereduksi polusi yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor. Seperti yang bisa kita lihat, jalur hijau khususnya di kawasan jalan utama seperti di kawasan Jalan Jendral Sudirman Jakarta Selatan sangat tertata. Memiliki lebar ± 4m sudah cukup untuk mereduksi polusi asap dan dapat mendinginkan cuaca sekitarnya.
Tetapi kenyataan yang berbeda di kota Depok. Dapat dirasakan debu dan kualitas udara yang buruk di sepanjang Jalan Margonda. Oleh karena itu, penulisan ilmiah ini akan menganalisa tentang kelayakan jalur hijau di sepanjang Jalan Margonda.


II.            Batasan Masalah
·         Analisis ukuran luas jalur hijau
·         Analisis macam-macam vegetasi
·         Analisis kelayakan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan terkait

III.           Rumusan Masalah
·         Berapa ukuran luas panjang dan lebar standar jalur hijau di perkotaan?
·         Apa saja jenis vegetasi yang ditanam di jalur hijau?
·         Bagaimana terapannya dengan Undang-undang dan Peraturan terkait?

IV.          Tujuan Penelitian
·         Untuk mengetahui kelayakan jalur hijau di Kota Depok
·         Untuk meningkatkan kualitas penataan kota di Kota Depok
V.           Metodologi
Penelitian dilakukan dengan cari studi kasus melalui literatur dan refensi dengan sumber media online serta studi kasus di lapangan.







BAB II
LANDASAN TEORI

Perkotaan merupakan sebuah pusat aktifitas manusia yang kepadatannya cenderung tinggi dari wilayah lainnya yang fungsinya selain sebagai tempat hidup juga sebagai tempat untuk menghasilkan barang dan jasa (Anggraeni, 2005). Aktifitas manusia sekecil apapun akan menghasilkan dampak lingkungan. Issue aktifitas perkotaan yang ada dewasa ini adalah tingginya tingkat Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan urbanisasi, tingginya kebutuhan transportasi dan tingginya limbah yang dihasilkan kota akibat kegiatan tersebut. Salah satu dampak lingkungan yang paling kompleks dan berimplikasi luas untuk aktifitas perkotaan adalah polusi udara yang dialami hampir di setiap kota besar.
Green belt atau jalur hijau adalah pemisah fisik daerah perkotaan dan pedesaan yang berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang berada di sekeliling luar kawasan perkotaan atau daerah pusat aktifitas/kegiatan yang menimbulkan polusi (Anggraeni, 2005). Senada dengan itu dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan (2008) disebutkan bahwa Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Green belt unsur utamanya berupa vegetasi yang secara alamiah berfungsi sebagai pembersih atmosfir dengan menyerap polutan yang berupa gas dan partikel melalui daunnya. Vegetasi berfungsi sebagai filter hidup yang menurunkan tingkat polusi dengan mengabsorbsi, detoksifikasi, akumulasi dan atau mengatur metabolisme di udara sehingga kualitas udara dapat meningkat dengan pelepasan oksigen di udara (Shannigrahi et al. 2003).
Lebih lanjut bahwa polusi udara di daerah perkotaan dan daerah industri yang terserap dan terakumulasi oleh badan tanaman, jika polusi tersebut beracun, maka akan mempengaruhi kesehatan tanaman tersebut. Level kesehatan tanaman ini terbagi menjadi spesies dengan tingkat kesensitifan terhadap polutan tinggi dan spesies tanaman dengan tingkat toleransi tinggi. Species tanaman dengan sensitifitas tinggi berguna untuk peringatan awal indikasi adanya bahan pencemar di udara, sedangkan untuk species tanaman dengan tingkat toleransi tinggi akan mengurangi tingkat polusi di udara secara menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa green belt merupakan faktor pengontrol tingkat polusi. Kualitas hidup manusia ditentukan dari segala aspek kehidupan, salah satu aspek terpenting adalah kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat perkotaan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang bersih dan bebas pencemaran, baik pencemaran air, tanah, dan udara.
Manfaat dari adanya tajuk vegetasi di green belt area adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota. Disinilah peranan green belt untuk kesehatan masyarakat perkotaan, khususnya untuk atau sebagai pengendali pencemaran atau polusi udara. Selain kesehatan, masyarakat juga berhak dan memerlukan kehidupan sosial yang baik yang dapat terpenuhi dengan adanya green belt yang berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat perkotaan. Green belt merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan. Jika luasan Green belt semakin besar maka kontrol polusi meningkat sehingga kualitas hidup masyarakat meningkat. Sedangkan penurunan luasan green belt menyebabkan polusi udara meningkat dan menurunkan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Jalur hijau, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang Ketentuan Umum Bab I Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan 2 pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.



BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis dilakukan untuk menentukan vegetasi lokal yang sesuai dengan model RTH jalur jalan. Hal ini dilakukan karena setiap jenis tanaman memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi sebaiknya disesuaikan dengan fungsi kawasan (Purnomohadi, 2006). Penyediaan RTH harus memperhatikan fungsi kawasan agar manfaat yang diberikan dengan adanya RTH lebih optimal untuk mendukung aktivitas kawasan. Langkah-langkah dalam analisis KPI adalah (Hakim & Utomo, 2008) :
a) Tahap 1: Mengidentifikasi vegetasi lokal yang ada di kota Kupang berdasarkan klasifikasi ilmiah, morfologi, manfaat, ekologi, perbanyakan serta habitat.
 b) Tahap 2: Memilah vegetasi yang sesuai dengan RTH Jalur jalan. Tanaman yang sesuai dengan fungsi jalur jalan adalah fungsi ekologis (tanaman peneduh) dan fungsi estetika (tanaman hias).
 c) Tahap 3: Membuat matriks berdasarkan tata cara perencanaan teknik lansekap jalan nomor 033/t/bm/1996, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan model RTH jalur jalan.
d) Tahap 4: Membuat matriks berdasarkan permen PU nomor 05/prt/m/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH dikawasan perkotaan, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan model RTH jalur jalan.
e) Tahap 5: Mengkorelasikan matriks dan menjustifikasi hasil vegetasi terpilih berdasarkan korelasi matriks yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan identifikasi dilapangan yang didukung dengan data sekunder diketahui bahwa vegetasi lokal yang terdapat di kota Kupang terdiri dari 23 spesies tanaman peneduh, 1 spesies tanaman bahan makanan pokok, 16 Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau (Lestari, et al.) J-PAL, Vol. 4, No. 1, 2013 3 spesies tanaman buah-buahan, 15 spesies tanaman hias, 8 spesies tanaman sayuran dan rempah, serta 5 spesies tanaman obat (Dinas Pertanian dan kehutanan, 2012).
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tentang tata cara perencanaan teknik lansekap jalan nomor 033/t/bm/1996, pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh kondisi iklim habitat dan areal dimana tanaman tersebut akan diletakkan dengan memperhatikan ketentuan geometrik jalan dan fungsi tanaman. Menurut bentuknya, tanaman dapat merupakan tanaman pohon, tanaman perdu atau semak dan tanaman penutup permukaan tanah. Persyaratan utama yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lansekap jalan antara lain :
(1) Perakaran tidak merusak konstruksi jalan;
 (2) Mudah dalam perawatan;
(3) Batang atau percabangan tidak mudah patah;
(4) Daun tidak mudah rontok atau gugur. Sedangkan menurut Permen PU nomor 05/prt/m/2008, fungsi dan kriteria vegetasi RTH jalur jalan dibagi menjadi beberapa fungsi dengan kriteria vegetasi sebagai berikut :
a) Vegetasi peneduh :
(1) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi median);
(2) Percabangan 2 m di atas tanah;
 (3) Bentuk percabangan batang tidak merunduk;
 (4) Bermassa daun padat;
(5) Berasal dari perbanyakan biji;
(6) Ditanam secara berbaris;
(7) Tidak mudah tumbang.
b) Vegetasi penyerap polusi udara :
(1) Terdiri dari pohon, perdu atau semak;
(2) Memiliki kegunaan untuk menyerap udara;
(3) Jarak tanam rapat; dan
(4) Bermassa daun padat.
c) Vegetasi peredam kebisingan :
 (1) Terdiri dari pohon, perdu atau semak;
(2) Membentuk massa;
(3) Bermassa daun rapat; dan
(4) Berbagai bentuk tajuk.
d) Vegetasi pemecah angin :
(1) Tanaman tinggi, perdu atau semak;
(2) Bermassa daun padat;
(3) Ditanam berbaris atau membentuk massa; dan
(4) Jarak tanam rapat < 3 m.
e) Vegetasi penahan silau lampu kendaraan :
 (1) Tanaman perdu atau semak;
(2) Ditanam rapat;
(3) Ketinggian 1,5 m; dan
(4) Bermassa daun padat.


I.          Penyebab Gejala Kurangnya Green Belt Area di Kawasan Perkotaan.

 Terdapat gejala kurangnya green belt area di beberapa kota besar. Luasan minimal ruang terbuka hijau yang dibutuhkan sebuah kota Jurnal SMARTek, Vol. 7, No. 2, Mei 2009: 113 - 120 116 yang berkelanjutan dari aspek lingkungan adalah 30% dari luasan total. Tekanan terhadap ruang terbuka hijau khususnya green belt area cenderung akan meningkat dari tahun ketahun karena peningkatan populasi di perkotaan (Ramana et al. 1998). Hal ini tersebut di atas merupakan hal yang perlu diwaspadai, karena tanpa adanya perhatian terhadap gejala ini polusi akan semakin meningkat, dampak lingkungan akan semakin parah dan akan semakin jauh dari tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Tingkat pertumbuhan populasi alamiah dan ditambah dengan arus urbanisasi ke perkotaan sangat tinggi sehingga aktivitas manusia akan semakin meningkat, limbah yang dihasilkan juga akan meningkat, dan daya dukung lingkungan akan menurun. Aktivitas manusia tersebut misalnya kebutuhan masyarakat untuk transportasi, bekerja, membutuhkan tempat tinggal yang kesemuanya akan menimbulkan dampak lingkungan. Transportasi akan menimbulkan polusi udara, dan kebutuhan permukiman masyarakat akan mengkonversi lahan terbuka hijau -dalam hal ini green belt sebagai kawasan terbangun.
Goldmisth et al, 1967 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan kendaraan bermotor (transportasi) merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan. Selanjutnya Krishnayya et al, 1986 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. Kebutuhan manusia untuk bekerja dipenuhi dengan mekanisme industrialisasi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun pada sisi lain jelas meningkatkan tingkat polusi. Sementara itu Shanigrahi et al. (2003) menyebutkan penyebab kurangnya green belt selain industrialisasi adalah tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, sehingga tingkat konversi lahan cenderung meningkat dari tahun ketahun karena kebutuhan masyarakat akan lahan yang semakin meningkat.
Selain hal tersebut di atas, penurunan daya dukung lingkungan makin menambah tekanan yang dihadapi green belt area di daerah perkotaan dan industri. Penurunan green belt area akan mengakibatkan penurunan terhadap kontrol polusi seiring menurunnya daya dukung lingkungan. Hal ini akan berpengaruh pula pada kualitas hidup masyarakat perkotaan. Penyebab kurangnya luasan green belt area di kota-kota besar secara general adalah (Bae et al. 2003):
1) industrialisasi,
2) urbanisasi
3) pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
 4) tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.    

Terkait dengan itu (Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan, LPL 2005) terdapat tiga issues utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH (termasuk jalur hijau/green belt area) adalah :
1) Dampak negatif dari sub optimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:
a) menurunkan kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya dukung wilayah (pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, dll)
b) menurunkan keamanan kota
c) menurunkan keindahan alami kota (natural amenities) dan artefak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi.
d) menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat atau menurunnya kesehatan masyarakat secara fisik dan psikis
2) Lemahnya lembaga pengelola RTH :
a) Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
b) Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH
c) Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
d) Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
3) Lemahnya peran stakeholders
a) Lemahnya persepsi masyarakat
b) Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
(4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH, yaitu belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional

BAB IV
KESIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan mengenai Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan adalah:
a. Green belt merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan.
b. Penyebab kurangnya luasan green belt area di kota-kota besar secara general adalah:
1) industrialisasi
2) industrialisasi,
3) pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
4) tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.
c. Pengembangan Green belt merupakan cara yang tepat untuk mengontrol polusi. Pengembangan Green belt yang optimal untuk menekan polusi udara adalah yang memperhatikan parameter biofisik dan sosial ekonomi.
          Penyediaan RTH harus memperhatikan fungsi kawasan dan vegetasi. Setiap jenis tanaman memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi sebaiknya disesuaikan dengan fungsi kawasan. RTH jalur jalan memiliki fungsi ekologi sebagai penunjang utama dan fungsi estetika sebagai pendukung. RTH jalur jalan merupakan jalur hijau yang berada pada sekitar kawasan jalan yang terdiri dari RTH pada trotoar, pulau jalan dan bagian jalan yang memungkinkan untuk ditanami vegetasi. Analisis vegetasi yang sesuai RTH jalur jalan merupakan langkah awal yang baik untuk menciptakan fungsi RTH yang optimal. Saran Jenis aktivitas kawasan mempengaruhi fungsi vegetasi pada kawasan tersebut. Kedepannya diperlukan pengenalan terhadap jenis-jenis tanaman yang merupakan langkah awal yang baik untuk menganalisis vegetasi dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau.



DAFTAR PUSTAKA


·         Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan di Pusat Kota Kupang 

ARTIKEL 3 (PEMBANGUNAN DAN PENATAAN JALAN MARGONDA)

ARTIKEL 3
PEMBANGUNAN DAN PENATAAN JALAN MARGONDA

Jalan Margonda merupakan jalan arteri primer yang menghubungkan kota Depok dengan Kota Jakarta. Pembangunan jalan Margonda setiap hari terus mengalami perkembangan. Seperti perkembangan Apartemen dan Pusat Perbelanjaan di sepanjang kawasan Margonda. Namun, yang terlihat belakangan ini adalah proyek penataan dan pembangunan yang tidak pernah tuntas yaitu pembangunan saluran sisi kiri dan sisi kanan jalan Margonda sepanjang 3,2 Km ini. Pembangunan yang hampir terlihat disetiap tahunnya ini, bahkan lebih dari sekali pertahunnya menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap lalu lintas dan kenyamanan pengguna dan masyarakat. Dampak dari pembangunan dan penataan saluran air ini menimbulkan kemacetan dan jalan berdebu khususnya di saat musim kemarau saat ini. Selain itu, merugikan para pemilik toko usaha yang berada di sekitar kawasan ini.
Penataan Drainase Kota di cantumkan dalam Peraturan Mentri Republik Indonesia Nomor 12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan. Dalam Peraturan tersebut dicantumkan pada pasal 8 bahwa Rencana Induk Sistem Drainase disusun dengan memperhatikan:
a. rencana pengelolaan sumber daya air;
b. rencana umum tata ruang kota (RUTRK);
c. tipologi kota/wilayah;
d. konservasi air; dan
e. kondisi lingkungan, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal.
Pada pelaksanaannya, sistem drainase di kawasan Jalan Margonda tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal. Hal ini dibuktikan tidak adanya perkembangan apabila pemerintah Kota Depok melakukan perbaikan drainase, malahan dampak yang ditimbulkan saat pengerjaan Jalan sangat merugikan masyakarat.



Selasa, 03 November 2015

ARTIKEL 2 (KONTRAK PEMBANGUNAN RUMAH)

ARTIKEL II
KONTRAK PEMBANGUNAN RUMAH

Beberapa pasal selanjutnya yang dimulai dari pasal 5 akan dibahas dalam artikel ini dengan penjelasan pasal yang berbeda yaitu mengenai teknis administratif dan keuangan yang ditentukan oleh pihak pertama dan pihak kedua. Dalam pasal 5 mengenai jaminan pelaksanaan. Jaminan pelaksanaan ditujukan untuk pencarian pemborong atau pekerja. Pencarian pemborong dilakukan secara lelang. Peraturan-peraturan mengenai pemborong sebelum pelaksanaan pekerjaan ditetapkan dalam pasal ini. Selanjutnya pasal 6 mengenai harga borongan yaitu merupakan bayaran yang akan diterima oleh pemborong sesuai dengan kesepakatan.  Harga yang dibayarkan oleh pihak pertama kepada pemborong sudah termasuk pajak-pajak yang ada. Cara pembayaran diatur didalam pasal 7. Pembayaran yang telah disepakati adalah pembayaran bertahap  (angsuran). Pembayaran tahap awal merupakan uang muka dengan persentasi 20% dari total pembayaran. Pembayaran tahap-tahap berikutnya juga berdasarkan persentasi yakni sebesar 40%, 40%, 15%, dan terakhir 5%. Persentase berdasarkan total pembayaran seluruhnya. Pembayaran bertahap harus melalui persetujuan kedua belah pihak.
Selanjutnya dalam pasal 8 menjelaskan tentang penyerahan pekerjaan. Penyerahan pekerjaan yang dimaksud apabila pihak kedua telah menyelesaikan pekerjaannya 100%. Penyerahan pekerjaan ini harus dinyatakan dalam Berita Acara Penyerahan Pekerjaan. Apabila ada keterlambatan penyelesaian pekerjaan, maka denda dan sanki akan diberikan kepada pihak kedua yang diatur dalam pasal 9. Denda telah ditentukan nominalnya sesuai dengan jangka keterlambatan penyelesaiannya.
Dalam pasal 10, dijelaskan mengenai Kenaikan harga dan Force Majeure. Kenaikan harga bahan baku ditanggung oleh pihak kedua. Sementara mengenai Force Majeure (kerusakan akibat bencana dan peraturan pemerintah yang akan memperlambat) harus di informasikan kepada pihak pertama. Pasal 11 menjelaskan tentang pekerjaan tambah dan kurang yang hanya bisa ditentukan oleh pihak pertama tanpa kuasa pihak kedua. Pembahasan kesepakatan berikutnya diatur dalam pasal 12 yang menyatakan tentang Pembatalan Perjanjian. Pembatalan perjanjian dapat dilakukan oleh pihak pertama apabila pihak kedua melanggar perjanjian dan kesepakatan serta menyertakan keterangan-keterangan yang tidak sesuai. Pihak pertama dapat memilih pemborong lain apabila pihak kedua melanggar perjanjian, dan pihak kedua harus menyetujui dan menyerahkan dokumen-dokumen pekerjaan kepada pihak pertama.
Dalam pembuatan perjanjian kontrak ini, bea cukai dan materai ditanggung oleh pihak kedua yang diatur dalam pasal 13. Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak diselesaikan secara musyawarah yang tertulis pada pasal 14. Namun apabila musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak mencapai mufakat, maka akan diselesaikan melalui jalur pengadilan. 
Kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban yang diuraikan dipasal 15. Pihak kedua berkewajiban untuk menjaga lokasi dari aspek kebersihan dan keamanannya, dan menjaga ketertiban di lokasi pekerjaan agar tidak mengganggu lingkungan sekitarnya. Sementara pihak pertama berhak memerintah pihak kedua untuk membuang bahan-bahan yang tidak terpakai lagi. Selain itu, pihak kedua memiliki keselamatan kerja yang dilindungi di pasal 16. Pihak kedua wajib menanggung keselamatan para pekerja borongan dengan mengansurasikan keselamatan kerjanya. Asuransi di bayarkan oleh pihak kedua sebagai penanggung jawab keselamatan kerja.

 Hal-hal yang merupakan perjanjian tambahan dicantumkan dalam pasal 17 untuk dilakukan di Surat Perjanjian Tambahan (Addendum). Pasal penutup pasal 18 menegaskan bahwa kedua pihak yang telah menyepakati perjanjian kontrak ini telah diikat oleh hukum negara pada Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua pihak diatas materai sebagai penanda keabsahan kontrak.  

ARTIKEL 1 (KONTRAK PEMBANGUNAN RUMAH)

PERJANJIAN KONTRAK PEMBANGUNAN RUMAH
SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL

Bogor, kamis tanggal 21 bulan juni tahun 2012, kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Mujiono
Alamat :Jl. Contoh Surat Resmi No. 99, Cibinong Bogor
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
No KTP : 0123456789
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemilik Rumah disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
Nama : Sulamun
Jabatan : Direktur CV
Alamat : Jl. Contoh Surat Perjanjian No. 214, Cibinong Bogor
No KTP : 9876543210
Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama CV. Sukasenang Jaya selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.
Berdasarkan Penawaran Harga Surat dari CV. Sukasenang Jaya
Nomor : 3128
Tanggal : 20 Juni 2012
Kedua belah pihak dengan ini menyatakan telah setuju dan sepakat untuk mengikat diri dalam suatu perjanjian dalam bidang pelaksanaan Pembangunan Rumah Tinggal dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal tersebut dibawah ini :
Pasal 1
TUGAS PEKERJAAN
(1) PIHAK PERTAMA memberikan tugas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima tugas tersebut, yaitu untuk melaksanakan Pembangunan Rumah Tinggal Beralamat Jl. Surat Kuasa No. 339, Cibinong Bogor
(2) Lingkup Pekerjaan secara terperinci adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan ini.


Pasal 2
DASAR PELAKSANAAN PEKERJAAN
Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, harus dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA sesuai dengan :
a. Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS)
b. Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA baik secara lisan maupun tulisan.
Pasal 3
JANGKA WAKTU PELAKSANAAN DAN MASA PEMELIHARAAN
(1) Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan ditetapkan selama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja tanggal 22 juni 2012 dan harus sudah selesai dan diserahkan paling lambat tanggal 25 juni 2012
(2) Waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, tidak dapat diubah oleh PIHAK KEDUA, kecuali adanya keadaan memaksa sebagaimana telah diatur dalam perjanjian ini.
(3) Masa Pemeliharaan adalah 30 (tiga puluh) hari kalender, terhitung mulai serah terima Pertama pekerjaan dimaksud.
Pasal 4
SUB KONTRAKTOR
(1) Apabila suatu bagian pekerjaan akan diserahkan kepada suatu sub kontraktor, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA, hubungan antara PIHAK KEDUA dengan sub kontraktor menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA
(2) Jika ternyata PIHAK KEDUA telah menyerahkan pekerjaan kepada sub kontraktor tanpa persetujuan pengawas, maka setelah pengawas memberikan peringatan tertulis kepada PIHAK KEDUA, PIHAK KEDUA harus mengembalikan keadaan sehingga sesuai dengan isi surat perjanjian ini, semua biaya yang dikeluarkan oleh PIHAK KEDUA atau sub kontraktor untukpekerjaan yang dilakukan oleh sub kontraktor itu, ditanggung oleh PIHAK KEDUA sendiri.
(3) Untuk bagian-bagian pekerjaan yang diserahkan kepada sub kontraktor atas sepengetahuan PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA harus melakukan koordinasi yang baik, serta penuh tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh sub kontraktor, serta melakukan pengawasan bersama-sama pengawas.

Pasal 5
JAMINAN PELAKSANAAN
(1) Pemborong yang ditunjuk sebagai pemenang lelang sebelum menandatangani kontrak diwajibkan memberikan jaminan pelaksanaan sebesar 5 % dari nilai kontrak yaitu Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah).
(2) Pada saat Jaminan Pelaksanaan diterima, maka jaminan penawaran akan dikembalikan.
(3) Jaminan Pelaksanaan menjadi milik PEMILIK RUMAH apabila ;
– Dalam hal pemenang lelang dalam waktu yang telah ditetapkan tidak melaksanakan pekerjaan/penyerahan barang
– Dalam hal pemenang lelang mengundurkan diri setelah menandatangani kontrak.
Pasal 6
HARGA BORONGAN
(1) Jumlah harga borongan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 perjanjian ini adalah sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) termasuk pajak–pajak yang dibebankan kepada PEMILIK RUMAH dan merupakan jumlah yang tetap dan pasti (lumpsum fixed price).
(2) Dalam jumlah harga borongan tersebut pada ayat (1) di atas, sudah termasuk pajak-pajak dan biaya-biaya lainnya yang harus dibayarkan PIHAK KEDUA sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 7
CARA PEMBAYARAN
a) Uang muka kerja sebesar 20 % dari nilai Kontrak yaitu sebesar :
20 % x Rp. 100.000.000,- = Rp. 5.000.000,- setelah menyerahkan jaminan uang muka yang diberikan oleh Bank Umum atau Asuransi yang telah mendapatkan dukungan perusahaan Asuransi dalam dan luar negeri yang cukup bonafit.
b) Pembayaran Pertama sebesar 40 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik dilapangan mencapai 45% yang dibuktikan dengan Berita acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Pertama = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 25.000.000,-
Potongan Uang Muka = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 25.000.000,-,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Pertama sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
c) Pembayaran Kedua sebesar 40 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik di lapangan mencapai 85% yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Pertama = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
Potongan Uang Muka = 40% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Kedua sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)
d) Pembayaran Ketiga sebesar 15 % dari nilai Kontrak dikurangi dengan angsuran pengembalian uang muka yang telah diambil, dibayarkan setelah fisik dilapangan mencapai 100% yang dibuktikan dengan Berita acara Pemeriksaan Lapangan dengan perincian :
Pembayaran Angsuran Ketiga = 15% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 12.000.000,-
Potongan Uang Muka = 20% x Rp. 100.000.000,- = Rp. 12.500.000,-
Jumlah Pembayaran Angsuran Ketiga Rp. 23.500.000 (dua puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah)
e) Pembayaran Terakhir sebesar 5 % dari nilai Kontrak yaitu sebesar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dibayarkan setelah berakhirnya masa pemeliharaan dan telah diadakan serah terima pekerjaan tersebut kepada PIHAK PERTAMA yang dibuktikan dengan Berita Acara Penyerahan Kedua untuk Pekerjaan dimaksud dengan catatan :
1) Pembayaran dapat dilakukan dalam beberapa termin/angsuran sesuai dengan kebutuhan kondisi ;
2) Perincian pembayaran tiap termin/angsuran diperhitungkan nilai kontrak dikurangi besarnya uang muka
Pasal 8
PENYERAHAN PEKERJAAN
(1) Sebelum pekerjaan diserahkan kepada PIHAK PERTAMA, maka PIHAK KEDUA berkewajiban untuk memberitahukan terlebih dahulu kepada PIHAK PERTAMA.
(2) Penyerahan pekerjaan harus dilakukan dan dinyatakan dalam Berita Acara Penyerahan Pekerjaan, apabila PIHAK KEDUA sudah menyelesaikan seluruh pekerjaan (selesai 100 %) sesuai persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam spesifikasi teknis.
Pasal 9
DENDA-DENDA DAN SANKSI-SANKSI
Keterlambatan penyelesaian/penyerahan pekerjaan dari jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Perjanjian ini, akan dikenakan denda/sanksi sebesar 1 ‰ (satu permil) untuk setiap hari keterlambatan dengan maksimum 5 % (lima persen) dari jumlah harga borongan.
PASAL 10
KENAIKAN HARGA DAN FORCE MAJEURE
a) Semua kenaikan harga borongan dan lain-lainnya, selama pelaksanaan pekerjaan ini, ditanggung sepenuhnya oleh PIHAK KEDUA
b) Hal-hal yang termasuk Force Majeure dalam kontrak ini adalah :
– Bencana Alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus, longsor, kebakaran, huru-hara, peperangan, pemberontakan dan epidemi).
– Kebijakan Pemerintah yang dapat mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan/penyelesaian pekerjaan.
c) Apabila terjadi Force Majeure, PIHAK KEDUA harus memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA secara tertulis, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari sejak terjadinya Force Majeure disertai bukti yang sah, demikian juga pada waktu Force Majeure berakhir.
d) Keterlambatan karena Force Majeure tidak dikenakan denda.
Pasal 11
PEKERJAAN TAMBAH KURANG
(1) Semua pekerjaan tambah atau kurang harus dikerjakan atas perintah dan tertulis dari PIHAK PERTAMA.
(2) Pekerjaan tambah atau kurang yang dikerjakan PIHAK KEDUA tanpa seizin PIHAK PERTAMA, akibatnya harus ditanggung PIHAK KEDUA.
Pasal 12
PEMBATALAN PERJANJIAN
1) PIHAK PERTAMA berhak membatalkan/memutuskan perjanjian ini secara sepihak dengan pemberitahuan tertulis tiga hari sebelumnya, setelah memberikan peringatan/teguran tiga kali berurutturut dan PIHAK KEDUA tidak mengindahkan peringatan tersebut ;
2) Pembatalan/pemutusan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dilakukan apabila PIHAK KEDUA melakukan hal-hal sebagai berikut :
– Memberikan keterangan tidak benar yang merugikan atau dapat merugikan PIHAK PERTAMA.
– Tidak dapat melaksanakan/melanjutan pekerjaan.
– Memborongkan sebagian atau seluruh pekerjaan kepada PIHAK KETIGA tanpa persetujuan PIHAK PERTAMA.
– Apabila jumlah denda keterlambatan telah mencapai maksimum 5 % dari jumlah harga borongan ini.
3) Jika terjadi pembatalan/pemutusan perjanjian secara sepihak oleh PIHAK PERTAMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut di atas, maka PIHAK PERTAMA dapat menunjuk pemborong lain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dan PIHAK KEDUA harus menyerahkan kepada PIHAK PERTAMA segala dokumen yang berhubungan dengan Perjanjian ini.
Pasal 13
BEA MATERAI DAN PAJAK-PAJAK
Bea materai dan pajak-pajak yang timbul akibat dari perjanjian ini seluruhnya dibebankan kepada PIHAK KEDUA, dilunasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
(1) Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
(2) Apabila musyawarah tidak tercapai, maka penyelesaian terakhir diserahkan kepada putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini kedua belah pihak memilih domisili tetap di Kantor Pengadilan Negeri setempat.
Pasal 15
HAK DAN KEWAJIBAN
(1) PIHAK KEDUA berkewajiban menjaga lingkungan agar tidak terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari kegiatan PIHAK KEDUA.
(2) PIHAK PERTAMA berhak memerintahkan kepada PIHAK KEDUA mengeluarkan dari tempat pekerjaan sebagian atau seluruh bahan yang tidak lagi memenuhi spesifikasi teknik.
(3) PIHAK KEDUA bertanggung jawab terhadap barang milik Daerah yang dipinjamkan dan/atau diserahkan kepada PIHAK KEDUA meliputi pemeliharaan, menjaga kondisi, perbaikan atau kerusakan, penggantian atas milik Daerah tersebut.
Pasal 16
KESELAMATAN KERJA
(1) Selama pelaksanaan pekerjaan, PIHAK KEDUA wajib memperhatikan tanggung jawab atas keselamatan kerja, baik di lingkungan pekerjaan maupun keamanan umum dan ketertiban di tempat kerja.
(2) PIHAK KEDUA berkewajiban mengasuransikan tenaga kerja borongan/harian lepas, yang dipekerjakan untuk paket pekerjaan ini.
(3) PIHAK KEDUA berkewajiban membayar asuransi bagi tenaga kerja borongan/harian lepas, yang dipekerjakan untuk paket pekerjaan ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 17
LAIN – LAIN
Segala sesuatu yang belum diatur dalam Surat Perjanjian ini atau perubahan yang dipandang perlu oleh kedua belah pihak akan diatur lebih lanjut dalam Surat Perjanjian Tambahan (Addendum) dan merupakan perjanjian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
PASAL 18
KETENTUAN PENUTUP
(1) Dengan telah ditanda tangani Perjanjian ini oleh kedua belah pihak pada hari dan tanggal sebagaimana tersebut diatas, maka seluruh ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal dan lampiranlampiran perjajian ini mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
(2) Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 6 (enam) bermaterai cukup masing-masing untuk PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA serta masing-masing rangkap mempunyai kekuatan hukum yang sama dan dinyatakan berlaku sejak diterbitkannya Surat Perintah Mulai Kerja
.







ARTIKEL I
KONTRAK PEMBANGUNAN RUMAH

           Lampiran diatas merupakan kontrak perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua dalam pembangunan rumah. Berdasarkan lampiran diatas, ada beberapa hal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak boleh dilanggar atau disalah artikan oleh kedua pihak hingga kontrak selesai. Selain itu, ada pula seputar data diri keterangan antara pihak pertama dan pihak kedua berupa nama, alamat, pekerjaan, serta nomor identitas. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak memiliki identitas yang jelas untuk menghindari pemalsuan identitas atau penyalahgunaan kuasa dan kontrak. Data diri yang dicantumkan harus sesuai identitas masing-masing pihak.
 Setelah penyantuman data diri dan identitas, kedua belah pihak membuat kesepakatan yang dicantukan dalam pasal-pasal sesuai dengan hal apa saja yang terkait pembangunan rumah. Dalam pasal 1, kedua belah pihak menyepakati tentang tugas dan pekerjaan pembangunan. Isi pasal ini mengenai penyerahan tugas dari pihak pertama yang merupakan pemilik rumah ke pihak 2 sebagai kontraktor pembangunan. Pasal ini diperlukan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan antara pihak pertama dan pihak kedua. Selanjutnya, kesepakatan dalam pasal 2 meliputi dasar pelaksanaan pekerjaan. Pasal 2 ini lebih ditujukan untuk pihak kedua sebagai garis besar perencanaan pekerjaan yang harus mengikuti perintah dari pihak pertama sebagai klien atau pemilik rumah. Pasal berikutnya adalah pasal 3 meliputi jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan masa pemeliharaan. Dalam pasal 3, dijelaskan tentang jangka waktu pelaksanaan pembangunan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Khusus dalam pasal ini, jangka waktu tidak dapat diubah oleh pihak kedua selaku kontraktor pelaksana karena pihak kedua  tidak memegang kuasa atas jangka waktu pelaksanaan.
 Kesepakatan dari pasal 1 hingga pasal 3 merupakan kesepakatan teknis pelaksanaan. Pasal berikutnya yaitu pasal 4 ada pasal mengenai Sub Kontraktor. Pasal ini dimaksudkan untuk pihak kedua apabila pihak kedua ingin memberikan proyek kepada kontraktor lain atau sub kontraktor. Pihak kedua yaitu kontraktor utama harus memberi tahu kepada pemilik rumah apabila proyek akan diserah tugaskan kepada sub kontraktor. Apabila pihak kedua tidak memberi tahu kepada pihak pertama maka pihak kedua mendapatkan sanksi sesuai dengan kesepakatan.  Penyerahtugasan oleh pihak kedua kepada sub kontraktor harus dengan persetujuan pihak pertama berikut juga dengan pekerjaan-pekerjaan yang akan dipindah tugaskan.
Pasal 1 sampai 4 menjelaskan teknis pelaksanaan pekerjaan secara garis besar sesuai dengan kesepakatan antara pihak pertama dan pihak kedua. Pasal-pasal yang dicantukan tidak boleh dilanggar. Pasal-pasal berikutnya akan menjelaskan teknis administratif dari kedua belah pihak yang akan dibahas pada artikel berikutnya.