Jumat, 06 November 2015

PENULISAN ILMIAH

PENULISAN ILMIAH
ANALISIS KELAYAKAN JALUR HIJAU DI JALAN MARGONDA

OLEH :
NADIA LISTIARINI
3TB06
26313269
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala rahmat dan karunia yang telah dicurahkan selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah ini. Penulisan ilmiah ini berjudul Analisis Kelayakan Jalur Hijau di Jalan Margonda.
Penulisan ilmiah ini disusun untuk melengkapi tugas dalam mata kuliah Hukum dan Pranata Pembangunan. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin berterima kasih kepada dosen mata kuliah yaitu Ibu Rehulina Apriyanti yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini dan juga sumber-sumber baik media cetak ataupun media online yang menjadi sumber referensi materi dalam penulisan ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam Penulisan Ilmiah ini, baik dari segi materi, teknis, maupun penyajian bahannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan Penulisan Ilmiah ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga dengan tersusunya Penulisan Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya. Amin
Depok, November 2015
Penulis

Nadia Listiarini



BAB I
PENDAHULUAN

I.              Latar Belakang

Dewasa ini isu mengenai penghijauan kota marak dimunculkan. Di beberapa kota besar, pengembangan ini dilakukan dengan cara pembangunan gedung yang berkonsep green building atau penataan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah salah satu pilihan sebagai serapan air dan penanaman pohon di celah-celah padatnya bangunan perkotaan. Salah satu ruang terbuka hijau yang banyak kita temui adalah jalur hijau. Jalur hijau itu sendiri merupakan daerah yang berada di pinggir jalan yang ditanami pepohonan sebagai pereduksi polusi yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor. Seperti yang bisa kita lihat, jalur hijau khususnya di kawasan jalan utama seperti di kawasan Jalan Jendral Sudirman Jakarta Selatan sangat tertata. Memiliki lebar ± 4m sudah cukup untuk mereduksi polusi asap dan dapat mendinginkan cuaca sekitarnya.
Tetapi kenyataan yang berbeda di kota Depok. Dapat dirasakan debu dan kualitas udara yang buruk di sepanjang Jalan Margonda. Oleh karena itu, penulisan ilmiah ini akan menganalisa tentang kelayakan jalur hijau di sepanjang Jalan Margonda.


II.            Batasan Masalah
·         Analisis ukuran luas jalur hijau
·         Analisis macam-macam vegetasi
·         Analisis kelayakan berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan terkait

III.           Rumusan Masalah
·         Berapa ukuran luas panjang dan lebar standar jalur hijau di perkotaan?
·         Apa saja jenis vegetasi yang ditanam di jalur hijau?
·         Bagaimana terapannya dengan Undang-undang dan Peraturan terkait?

IV.          Tujuan Penelitian
·         Untuk mengetahui kelayakan jalur hijau di Kota Depok
·         Untuk meningkatkan kualitas penataan kota di Kota Depok
V.           Metodologi
Penelitian dilakukan dengan cari studi kasus melalui literatur dan refensi dengan sumber media online serta studi kasus di lapangan.







BAB II
LANDASAN TEORI

Perkotaan merupakan sebuah pusat aktifitas manusia yang kepadatannya cenderung tinggi dari wilayah lainnya yang fungsinya selain sebagai tempat hidup juga sebagai tempat untuk menghasilkan barang dan jasa (Anggraeni, 2005). Aktifitas manusia sekecil apapun akan menghasilkan dampak lingkungan. Issue aktifitas perkotaan yang ada dewasa ini adalah tingginya tingkat Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan urbanisasi, tingginya kebutuhan transportasi dan tingginya limbah yang dihasilkan kota akibat kegiatan tersebut. Salah satu dampak lingkungan yang paling kompleks dan berimplikasi luas untuk aktifitas perkotaan adalah polusi udara yang dialami hampir di setiap kota besar.
Green belt atau jalur hijau adalah pemisah fisik daerah perkotaan dan pedesaan yang berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang berada di sekeliling luar kawasan perkotaan atau daerah pusat aktifitas/kegiatan yang menimbulkan polusi (Anggraeni, 2005). Senada dengan itu dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan (2008) disebutkan bahwa Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Green belt unsur utamanya berupa vegetasi yang secara alamiah berfungsi sebagai pembersih atmosfir dengan menyerap polutan yang berupa gas dan partikel melalui daunnya. Vegetasi berfungsi sebagai filter hidup yang menurunkan tingkat polusi dengan mengabsorbsi, detoksifikasi, akumulasi dan atau mengatur metabolisme di udara sehingga kualitas udara dapat meningkat dengan pelepasan oksigen di udara (Shannigrahi et al. 2003).
Lebih lanjut bahwa polusi udara di daerah perkotaan dan daerah industri yang terserap dan terakumulasi oleh badan tanaman, jika polusi tersebut beracun, maka akan mempengaruhi kesehatan tanaman tersebut. Level kesehatan tanaman ini terbagi menjadi spesies dengan tingkat kesensitifan terhadap polutan tinggi dan spesies tanaman dengan tingkat toleransi tinggi. Species tanaman dengan sensitifitas tinggi berguna untuk peringatan awal indikasi adanya bahan pencemar di udara, sedangkan untuk species tanaman dengan tingkat toleransi tinggi akan mengurangi tingkat polusi di udara secara menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa green belt merupakan faktor pengontrol tingkat polusi. Kualitas hidup manusia ditentukan dari segala aspek kehidupan, salah satu aspek terpenting adalah kesehatan masyarakat. Kesehatan masyarakat perkotaan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang bersih dan bebas pencemaran, baik pencemaran air, tanah, dan udara.
Manfaat dari adanya tajuk vegetasi di green belt area adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota. Disinilah peranan green belt untuk kesehatan masyarakat perkotaan, khususnya untuk atau sebagai pengendali pencemaran atau polusi udara. Selain kesehatan, masyarakat juga berhak dan memerlukan kehidupan sosial yang baik yang dapat terpenuhi dengan adanya green belt yang berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat perkotaan. Green belt merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan. Jika luasan Green belt semakin besar maka kontrol polusi meningkat sehingga kualitas hidup masyarakat meningkat. Sedangkan penurunan luasan green belt menyebabkan polusi udara meningkat dan menurunkan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Jalur hijau, adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan (RUMIJA) maupun di dalam ruang Ketentuan Umum Bab I Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan 2 pengawasan jalan (RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.



BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Analisis dilakukan untuk menentukan vegetasi lokal yang sesuai dengan model RTH jalur jalan. Hal ini dilakukan karena setiap jenis tanaman memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi sebaiknya disesuaikan dengan fungsi kawasan (Purnomohadi, 2006). Penyediaan RTH harus memperhatikan fungsi kawasan agar manfaat yang diberikan dengan adanya RTH lebih optimal untuk mendukung aktivitas kawasan. Langkah-langkah dalam analisis KPI adalah (Hakim & Utomo, 2008) :
a) Tahap 1: Mengidentifikasi vegetasi lokal yang ada di kota Kupang berdasarkan klasifikasi ilmiah, morfologi, manfaat, ekologi, perbanyakan serta habitat.
 b) Tahap 2: Memilah vegetasi yang sesuai dengan RTH Jalur jalan. Tanaman yang sesuai dengan fungsi jalur jalan adalah fungsi ekologis (tanaman peneduh) dan fungsi estetika (tanaman hias).
 c) Tahap 3: Membuat matriks berdasarkan tata cara perencanaan teknik lansekap jalan nomor 033/t/bm/1996, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan model RTH jalur jalan.
d) Tahap 4: Membuat matriks berdasarkan permen PU nomor 05/prt/m/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH dikawasan perkotaan, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan model RTH jalur jalan.
e) Tahap 5: Mengkorelasikan matriks dan menjustifikasi hasil vegetasi terpilih berdasarkan korelasi matriks yang dilakukan sebelumnya. Berdasarkan identifikasi dilapangan yang didukung dengan data sekunder diketahui bahwa vegetasi lokal yang terdapat di kota Kupang terdiri dari 23 spesies tanaman peneduh, 1 spesies tanaman bahan makanan pokok, 16 Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau (Lestari, et al.) J-PAL, Vol. 4, No. 1, 2013 3 spesies tanaman buah-buahan, 15 spesies tanaman hias, 8 spesies tanaman sayuran dan rempah, serta 5 spesies tanaman obat (Dinas Pertanian dan kehutanan, 2012).
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tentang tata cara perencanaan teknik lansekap jalan nomor 033/t/bm/1996, pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh kondisi iklim habitat dan areal dimana tanaman tersebut akan diletakkan dengan memperhatikan ketentuan geometrik jalan dan fungsi tanaman. Menurut bentuknya, tanaman dapat merupakan tanaman pohon, tanaman perdu atau semak dan tanaman penutup permukaan tanah. Persyaratan utama yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lansekap jalan antara lain :
(1) Perakaran tidak merusak konstruksi jalan;
 (2) Mudah dalam perawatan;
(3) Batang atau percabangan tidak mudah patah;
(4) Daun tidak mudah rontok atau gugur. Sedangkan menurut Permen PU nomor 05/prt/m/2008, fungsi dan kriteria vegetasi RTH jalur jalan dibagi menjadi beberapa fungsi dengan kriteria vegetasi sebagai berikut :
a) Vegetasi peneduh :
(1) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi median);
(2) Percabangan 2 m di atas tanah;
 (3) Bentuk percabangan batang tidak merunduk;
 (4) Bermassa daun padat;
(5) Berasal dari perbanyakan biji;
(6) Ditanam secara berbaris;
(7) Tidak mudah tumbang.
b) Vegetasi penyerap polusi udara :
(1) Terdiri dari pohon, perdu atau semak;
(2) Memiliki kegunaan untuk menyerap udara;
(3) Jarak tanam rapat; dan
(4) Bermassa daun padat.
c) Vegetasi peredam kebisingan :
 (1) Terdiri dari pohon, perdu atau semak;
(2) Membentuk massa;
(3) Bermassa daun rapat; dan
(4) Berbagai bentuk tajuk.
d) Vegetasi pemecah angin :
(1) Tanaman tinggi, perdu atau semak;
(2) Bermassa daun padat;
(3) Ditanam berbaris atau membentuk massa; dan
(4) Jarak tanam rapat < 3 m.
e) Vegetasi penahan silau lampu kendaraan :
 (1) Tanaman perdu atau semak;
(2) Ditanam rapat;
(3) Ketinggian 1,5 m; dan
(4) Bermassa daun padat.


I.          Penyebab Gejala Kurangnya Green Belt Area di Kawasan Perkotaan.

 Terdapat gejala kurangnya green belt area di beberapa kota besar. Luasan minimal ruang terbuka hijau yang dibutuhkan sebuah kota Jurnal SMARTek, Vol. 7, No. 2, Mei 2009: 113 - 120 116 yang berkelanjutan dari aspek lingkungan adalah 30% dari luasan total. Tekanan terhadap ruang terbuka hijau khususnya green belt area cenderung akan meningkat dari tahun ketahun karena peningkatan populasi di perkotaan (Ramana et al. 1998). Hal ini tersebut di atas merupakan hal yang perlu diwaspadai, karena tanpa adanya perhatian terhadap gejala ini polusi akan semakin meningkat, dampak lingkungan akan semakin parah dan akan semakin jauh dari tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Tingkat pertumbuhan populasi alamiah dan ditambah dengan arus urbanisasi ke perkotaan sangat tinggi sehingga aktivitas manusia akan semakin meningkat, limbah yang dihasilkan juga akan meningkat, dan daya dukung lingkungan akan menurun. Aktivitas manusia tersebut misalnya kebutuhan masyarakat untuk transportasi, bekerja, membutuhkan tempat tinggal yang kesemuanya akan menimbulkan dampak lingkungan. Transportasi akan menimbulkan polusi udara, dan kebutuhan permukiman masyarakat akan mengkonversi lahan terbuka hijau -dalam hal ini green belt sebagai kawasan terbangun.
Goldmisth et al, 1967 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan kendaraan bermotor (transportasi) merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan. Selanjutnya Krishnayya et al, 1986 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor. Kebutuhan manusia untuk bekerja dipenuhi dengan mekanisme industrialisasi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun pada sisi lain jelas meningkatkan tingkat polusi. Sementara itu Shanigrahi et al. (2003) menyebutkan penyebab kurangnya green belt selain industrialisasi adalah tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, sehingga tingkat konversi lahan cenderung meningkat dari tahun ketahun karena kebutuhan masyarakat akan lahan yang semakin meningkat.
Selain hal tersebut di atas, penurunan daya dukung lingkungan makin menambah tekanan yang dihadapi green belt area di daerah perkotaan dan industri. Penurunan green belt area akan mengakibatkan penurunan terhadap kontrol polusi seiring menurunnya daya dukung lingkungan. Hal ini akan berpengaruh pula pada kualitas hidup masyarakat perkotaan. Penyebab kurangnya luasan green belt area di kota-kota besar secara general adalah (Bae et al. 2003):
1) industrialisasi,
2) urbanisasi
3) pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
 4) tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.    

Terkait dengan itu (Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan, LPL 2005) terdapat tiga issues utama dari ketersediaan dan kelestarian RTH (termasuk jalur hijau/green belt area) adalah :
1) Dampak negatif dari sub optimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:
a) menurunkan kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya dukung wilayah (pencemaran meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, dll)
b) menurunkan keamanan kota
c) menurunkan keindahan alami kota (natural amenities) dan artefak alami sejarah yang bernilai kultural tinggi.
d) menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat atau menurunnya kesehatan masyarakat secara fisik dan psikis
2) Lemahnya lembaga pengelola RTH :
a) Belum terdapatnya aturan hukum dan perundangan yang tepat
b) Belum optimalnya penegakan aturan main pengelolaan RTH
c) Belum jelasnya bentuk kelembagaan pengelola RTH
d) Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan RTH yang jelas
3) Lemahnya peran stakeholders
a) Lemahnya persepsi masyarakat
b) Lemahnya pengertian masyarakat dan pemerintah
(4) Keterbatasan lahan kota untuk peruntukan RTH, yaitu belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di kota untuk RTH fungsional

BAB IV
KESIMPULAN

Simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan mengenai Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan adalah:
a. Green belt merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan.
b. Penyebab kurangnya luasan green belt area di kota-kota besar secara general adalah:
1) industrialisasi
2) industrialisasi,
3) pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
4) tidak adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.
c. Pengembangan Green belt merupakan cara yang tepat untuk mengontrol polusi. Pengembangan Green belt yang optimal untuk menekan polusi udara adalah yang memperhatikan parameter biofisik dan sosial ekonomi.
          Penyediaan RTH harus memperhatikan fungsi kawasan dan vegetasi. Setiap jenis tanaman memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi sebaiknya disesuaikan dengan fungsi kawasan. RTH jalur jalan memiliki fungsi ekologi sebagai penunjang utama dan fungsi estetika sebagai pendukung. RTH jalur jalan merupakan jalur hijau yang berada pada sekitar kawasan jalan yang terdiri dari RTH pada trotoar, pulau jalan dan bagian jalan yang memungkinkan untuk ditanami vegetasi. Analisis vegetasi yang sesuai RTH jalur jalan merupakan langkah awal yang baik untuk menciptakan fungsi RTH yang optimal. Saran Jenis aktivitas kawasan mempengaruhi fungsi vegetasi pada kawasan tersebut. Kedepannya diperlukan pengenalan terhadap jenis-jenis tanaman yang merupakan langkah awal yang baik untuk menganalisis vegetasi dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau.



DAFTAR PUSTAKA


·         Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan di Pusat Kota Kupang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar