PENULISAN ILMIAH
ANALISIS KELAYAKAN JALUR HIJAU DI JALAN
MARGONDA
OLEH :
NADIA LISTIARINI
3TB06
26313269
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, dengan segala rahmat dan karunia yang telah dicurahkan selama ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ilmiah ini. Penulisan ilmiah ini
berjudul Analisis Kelayakan Jalur Hijau di Jalan Margonda.
Penulisan ilmiah ini disusun untuk melengkapi
tugas dalam mata kuliah Hukum dan Pranata Pembangunan. Pada kesempatan kali
ini, penulis ingin berterima kasih kepada dosen mata kuliah yaitu Ibu Rehulina
Apriyanti yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini
dan juga sumber-sumber baik media cetak ataupun media online yang menjadi
sumber referensi materi dalam penulisan ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dalam Penulisan Ilmiah ini, baik dari segi materi, teknis, maupun
penyajian bahannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan Penulisan Ilmiah ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga dengan tersusunya
Penulisan Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya maupun bagi para
pembaca pada umumnya. Amin
Depok,
November 2015
Penulis
Nadia
Listiarini
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Dewasa ini isu mengenai penghijauan kota marak
dimunculkan. Di beberapa kota besar, pengembangan ini dilakukan dengan cara
pembangunan gedung yang berkonsep green building atau penataan ruang terbuka
hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah salah satu pilihan sebagai serapan air
dan penanaman pohon di celah-celah padatnya bangunan perkotaan. Salah satu
ruang terbuka hijau yang banyak kita temui adalah jalur hijau. Jalur hijau itu
sendiri merupakan daerah yang berada di pinggir jalan yang ditanami pepohonan
sebagai pereduksi polusi yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor. Seperti
yang bisa kita lihat, jalur hijau khususnya di kawasan jalan utama seperti di
kawasan Jalan Jendral Sudirman Jakarta Selatan sangat tertata. Memiliki lebar ±
4m sudah cukup untuk mereduksi polusi asap dan dapat mendinginkan cuaca
sekitarnya.
Tetapi kenyataan yang berbeda di kota Depok. Dapat
dirasakan debu dan kualitas udara yang buruk di sepanjang Jalan Margonda. Oleh
karena itu, penulisan ilmiah ini akan menganalisa tentang kelayakan jalur hijau
di sepanjang Jalan Margonda.
II.
Batasan Masalah
·
Analisis ukuran luas
jalur hijau
·
Analisis macam-macam
vegetasi
·
Analisis kelayakan
berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan terkait
III.
Rumusan Masalah
·
Berapa ukuran luas
panjang dan lebar standar jalur hijau di perkotaan?
·
Apa saja jenis
vegetasi yang ditanam di jalur hijau?
·
Bagaimana terapannya
dengan Undang-undang dan Peraturan terkait?
IV.
Tujuan Penelitian
·
Untuk mengetahui
kelayakan jalur hijau di Kota Depok
·
Untuk meningkatkan
kualitas penataan kota di Kota Depok
V.
Metodologi
Penelitian dilakukan dengan
cari studi kasus melalui literatur dan refensi dengan sumber media online serta
studi kasus di lapangan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Perkotaan
merupakan sebuah pusat aktifitas manusia yang kepadatannya cenderung tinggi
dari wilayah lainnya yang fungsinya selain sebagai tempat hidup juga sebagai
tempat untuk menghasilkan barang dan jasa (Anggraeni, 2005). Aktifitas manusia
sekecil apapun akan menghasilkan dampak lingkungan. Issue aktifitas perkotaan
yang ada dewasa ini adalah tingginya tingkat Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai
Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan urbanisasi,
tingginya kebutuhan transportasi dan tingginya limbah yang dihasilkan kota
akibat kegiatan tersebut. Salah satu dampak lingkungan yang paling kompleks dan
berimplikasi luas untuk aktifitas perkotaan adalah polusi udara yang dialami
hampir di setiap kota besar.
Green
belt atau jalur hijau adalah pemisah fisik daerah perkotaan dan pedesaan yang
berupa zona bebas bangunan atau ruang terbuka hijau yang berada di sekeliling
luar kawasan perkotaan atau daerah pusat aktifitas/kegiatan yang menimbulkan
polusi (Anggraeni, 2005). Senada dengan itu dalam Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan (2008) disebutkan bahwa Sabuk hijau
merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi
perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan
lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling
mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya.
Green
belt unsur utamanya berupa vegetasi yang secara alamiah berfungsi sebagai
pembersih atmosfir dengan menyerap polutan yang berupa gas dan partikel melalui
daunnya. Vegetasi berfungsi sebagai filter hidup yang menurunkan tingkat polusi
dengan mengabsorbsi, detoksifikasi, akumulasi dan atau mengatur metabolisme di
udara sehingga kualitas udara dapat meningkat dengan pelepasan oksigen di udara
(Shannigrahi et al. 2003).
Lebih
lanjut bahwa polusi udara di daerah perkotaan dan daerah industri yang terserap
dan terakumulasi oleh badan tanaman, jika polusi tersebut beracun, maka akan
mempengaruhi kesehatan tanaman tersebut. Level kesehatan tanaman ini terbagi
menjadi spesies dengan tingkat kesensitifan terhadap polutan tinggi dan spesies
tanaman dengan tingkat toleransi tinggi. Species tanaman dengan sensitifitas
tinggi berguna untuk peringatan awal indikasi adanya bahan pencemar di udara,
sedangkan untuk species tanaman dengan tingkat toleransi tinggi akan mengurangi
tingkat polusi di udara secara menyeluruh. Hal ini menjelaskan bahwa green belt
merupakan faktor pengontrol tingkat polusi. Kualitas hidup manusia ditentukan
dari segala aspek kehidupan, salah satu aspek terpenting adalah kesehatan masyarakat.
Kesehatan masyarakat perkotaan ditentukan oleh kondisi lingkungan yang bersih
dan bebas pencemaran, baik pencemaran air, tanah, dan udara.
Manfaat
dari adanya tajuk vegetasi di green belt area adalah menjadikan udara yang
lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi
tanpa tajuk dari hutan kota. Disinilah peranan green belt untuk kesehatan
masyarakat perkotaan, khususnya untuk atau sebagai pengendali pencemaran atau
polusi udara. Selain kesehatan, masyarakat juga berhak dan memerlukan kehidupan
sosial yang baik yang dapat terpenuhi dengan adanya green belt yang berfungsi
sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat perkotaan. Green belt merupakan unsur
signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi dan menjaga
kualitas hidup masyarakat perkotaan. Jika luasan Green belt semakin besar maka
kontrol polusi meningkat sehingga kualitas hidup masyarakat meningkat.
Sedangkan penurunan luasan green belt menyebabkan polusi udara meningkat dan
menurunkan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan Jalur hijau, adalah jalur penempatan
tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan
(RUMIJA) maupun di dalam ruang Ketentuan Umum Bab I Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan 2 pengawasan jalan
(RUWASJA). Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah
tanaman yang pada umumnya berwarna hijau.
BAB
III
ANALISIS
DAN PEMBAHASAN
Analisis dilakukan untuk menentukan vegetasi lokal yang
sesuai dengan model RTH jalur jalan. Hal ini dilakukan karena setiap jenis
tanaman memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi
sebaiknya disesuaikan dengan fungsi kawasan (Purnomohadi, 2006). Penyediaan RTH
harus memperhatikan fungsi kawasan agar manfaat yang diberikan dengan adanya
RTH lebih optimal untuk mendukung aktivitas kawasan. Langkah-langkah dalam
analisis KPI adalah (Hakim & Utomo, 2008) :
a) Tahap 1: Mengidentifikasi vegetasi lokal yang ada di kota
Kupang berdasarkan klasifikasi ilmiah, morfologi, manfaat, ekologi, perbanyakan
serta habitat.
b) Tahap 2: Memilah
vegetasi yang sesuai dengan RTH Jalur jalan. Tanaman yang sesuai dengan fungsi
jalur jalan adalah fungsi ekologis (tanaman peneduh) dan fungsi estetika
(tanaman hias).
c) Tahap 3: Membuat
matriks berdasarkan tata cara perencanaan teknik lansekap jalan nomor
033/t/bm/1996, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan
model RTH jalur jalan.
d) Tahap 4: Membuat matriks berdasarkan permen PU nomor
05/prt/m/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan RTH dikawasan
perkotaan, untuk menentukan tanaman peneduh dan hias yang sesuai dengan model
RTH jalur jalan.
e) Tahap 5: Mengkorelasikan matriks dan menjustifikasi hasil
vegetasi terpilih berdasarkan korelasi matriks yang dilakukan sebelumnya.
Berdasarkan identifikasi dilapangan yang didukung dengan data sekunder
diketahui bahwa vegetasi lokal yang terdapat di kota Kupang terdiri dari 23
spesies tanaman peneduh, 1 spesies tanaman bahan makanan pokok, 16 Analisis
Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk Ruang Terbuka Hijau (Lestari, et al.) J-PAL,
Vol. 4, No. 1, 2013 3 spesies tanaman buah-buahan, 15 spesies tanaman hias, 8 spesies
tanaman sayuran dan rempah, serta 5 spesies tanaman obat (Dinas Pertanian dan
kehutanan, 2012).
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga tentang tata cara
perencanaan teknik lansekap jalan nomor 033/t/bm/1996, pemilihan jenis tanaman
ditentukan oleh kondisi iklim habitat dan areal dimana tanaman tersebut akan
diletakkan dengan memperhatikan ketentuan geometrik jalan dan fungsi tanaman.
Menurut bentuknya, tanaman dapat merupakan tanaman pohon, tanaman perdu atau
semak dan tanaman penutup permukaan tanah. Persyaratan utama yang perlu
diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lansekap jalan antara lain :
(1) Perakaran tidak merusak konstruksi jalan;
(2) Mudah dalam
perawatan;
(3) Batang atau percabangan tidak mudah patah;
(4) Daun tidak mudah rontok atau gugur. Sedangkan menurut
Permen PU nomor 05/prt/m/2008, fungsi dan kriteria vegetasi RTH jalur jalan
dibagi menjadi beberapa fungsi dengan kriteria vegetasi sebagai berikut :
a) Vegetasi peneduh :
(1) Ditempatkan pada jalur tanaman (minimal 1,5 m dari tepi
median);
(2) Percabangan 2 m di atas tanah;
(3) Bentuk percabangan
batang tidak merunduk;
(4) Bermassa daun
padat;
(5) Berasal dari perbanyakan biji;
(6) Ditanam secara berbaris;
(7) Tidak mudah tumbang.
b) Vegetasi penyerap polusi udara :
(1) Terdiri dari pohon, perdu atau semak;
(2) Memiliki kegunaan untuk menyerap udara;
(3) Jarak tanam rapat; dan
(4) Bermassa daun padat.
c) Vegetasi peredam kebisingan :
(1) Terdiri dari
pohon, perdu atau semak;
(2) Membentuk massa;
(3) Bermassa daun rapat; dan
(4) Berbagai bentuk tajuk.
d) Vegetasi pemecah angin :
(1) Tanaman tinggi, perdu atau semak;
(2) Bermassa daun padat;
(3) Ditanam berbaris atau membentuk massa; dan
(4) Jarak tanam rapat < 3 m.
e) Vegetasi penahan silau lampu kendaraan :
(1) Tanaman perdu atau
semak;
(2) Ditanam rapat;
(3) Ketinggian 1,5 m; dan
(4) Bermassa daun padat.
I.
Penyebab Gejala Kurangnya Green Belt Area di Kawasan
Perkotaan.
Terdapat gejala
kurangnya green belt area di beberapa kota besar. Luasan minimal ruang terbuka
hijau yang dibutuhkan sebuah kota Jurnal SMARTek, Vol. 7, No. 2, Mei 2009: 113
- 120 116 yang berkelanjutan dari aspek lingkungan adalah 30% dari luasan
total. Tekanan terhadap ruang terbuka hijau khususnya green belt area cenderung
akan meningkat dari tahun ketahun karena peningkatan populasi di perkotaan
(Ramana et al. 1998). Hal ini tersebut di atas merupakan hal yang perlu
diwaspadai, karena tanpa adanya perhatian terhadap gejala ini polusi akan
semakin meningkat, dampak lingkungan akan semakin parah dan akan semakin jauh
dari tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Tingkat
pertumbuhan populasi alamiah dan ditambah dengan arus urbanisasi ke perkotaan
sangat tinggi sehingga aktivitas manusia akan semakin meningkat, limbah yang
dihasilkan juga akan meningkat, dan daya dukung lingkungan akan menurun.
Aktivitas manusia tersebut misalnya kebutuhan masyarakat untuk transportasi,
bekerja, membutuhkan tempat tinggal yang kesemuanya akan menimbulkan dampak
lingkungan. Transportasi akan menimbulkan polusi udara, dan kebutuhan
permukiman masyarakat akan mengkonversi lahan terbuka hijau -dalam hal ini
green belt sebagai kawasan terbangun.
Goldmisth
et al, 1967 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan kendaraan bermotor
(transportasi) merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan.
Selanjutnya Krishnayya et al, 1986 (dalam N. Dahlan, 2004) menyebutkan
diperkirakan sekitar 60-70% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal
dari kendaraan bermotor. Kebutuhan manusia untuk bekerja dipenuhi dengan
mekanisme industrialisasi yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun pada sisi
lain jelas meningkatkan tingkat polusi. Sementara itu Shanigrahi et al. (2003)
menyebutkan penyebab kurangnya green belt selain industrialisasi adalah tidak
adanya mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area,
sehingga tingkat konversi lahan cenderung meningkat dari tahun ketahun karena
kebutuhan masyarakat akan lahan yang semakin meningkat.
Selain
hal tersebut di atas, penurunan daya dukung lingkungan makin menambah tekanan
yang dihadapi green belt area di daerah perkotaan dan industri. Penurunan green
belt area akan mengakibatkan penurunan terhadap kontrol polusi seiring
menurunnya daya dukung lingkungan. Hal ini akan berpengaruh pula pada kualitas
hidup masyarakat perkotaan. Penyebab kurangnya luasan green belt area di
kota-kota besar secara general adalah (Bae et al. 2003):
1) industrialisasi,
2) urbanisasi
3) pembangunan
ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
4) tidak adanya mekanisme kontrol yang baik
untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung
lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.
Terkait
dengan itu (Dep PU/RTH Wilayah Perkotaan, LPL 2005) terdapat tiga issues utama
dari ketersediaan dan kelestarian RTH (termasuk jalur hijau/green belt area)
adalah :
1) Dampak negatif
dari sub optimalisasi RTH dimana RTH kota tersebut tidak memenuhi persyaratan
jumlah dan kualitas (RTH tidak tersedia, RTH tidak fungsional, fragmentasi
lahan yang menurunkan kapasitas lahan dan selanjutnya menurunkan kapasitas
lingkungan, alih guna dan fungsi lahan) terjadi terutama dalam bentuk/kejadian:
a) menurunkan
kenyamanan kota: penurunan kapasitas dan daya dukung wilayah (pencemaran
meningkat, ketersediaan air tanah menurun, suhu kota meningkat, dll)
b) menurunkan keamanan
kota
c) menurunkan
keindahan alami kota (natural amenities) dan artefak alami sejarah
yang bernilai kultural tinggi.
d) menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat atau menurunnya kesehatan masyarakat secara fisik dan psikis
2) Lemahnya lembaga pengelola RTH :
a) Belum terdapatnya aturan hukum dan
perundangan yang tepat
b) Belum optimalnya penegakan aturan
main pengelolaan RTH
c) Belum jelasnya bentuk kelembagaan
pengelola RTH
d) Belum terdapatnya tata kerja pengelolaan
RTH yang jelas
3) Lemahnya peran stakeholders
a) Lemahnya persepsi masyarakat
b) Lemahnya pengertian masyarakat dan
pemerintah
(4) Keterbatasan lahan kota untuk
peruntukan RTH, yaitu belum optimalnya pemanfaatan lahan terbuka yang ada di
kota untuk RTH fungsional
BAB IV
KESIMPULAN
Simpulan
yang dapat ditarik dari pembahasan mengenai Jalur Hijau (Green Belt) Sebagai
Kontrol Polusi Udara Hubungannya Dengan Kualitas Hidup Di Perkotaan adalah:
a. Green belt
merupakan unsur signifikan bagi suatu sistem perkotaan sebagai kontrol polusi
dan menjaga kualitas hidup masyarakat perkotaan.
b. Penyebab kurangnya
luasan green belt area di kota-kota besar secara general adalah:
1) industrialisasi
2) industrialisasi,
3) pembangunan
ekonomi yang tidak terencana dengan baik;
4) tidak adanya
mekanisme kontrol yang baik untuk mempertahankan green belt area, serta ;
5) daya dukung
lingkungan yang sudah berkurang memperburuk kondisi perkotaan.
c. Pengembangan Green
belt merupakan cara yang tepat untuk mengontrol polusi. Pengembangan Green belt
yang optimal untuk menekan polusi udara adalah yang memperhatikan parameter
biofisik dan sosial ekonomi.
Penyediaan
RTH harus memperhatikan fungsi kawasan dan vegetasi. Setiap jenis tanaman
memiliki fungsi dan manfaat yang berbeda, sehingga fungsi vegetasi sebaiknya
disesuaikan dengan fungsi kawasan. RTH jalur jalan memiliki fungsi ekologi
sebagai penunjang utama dan fungsi estetika sebagai pendukung. RTH jalur jalan
merupakan jalur hijau yang berada pada sekitar kawasan jalan yang terdiri dari
RTH pada trotoar, pulau jalan dan bagian jalan yang memungkinkan untuk ditanami
vegetasi. Analisis vegetasi yang sesuai RTH jalur jalan merupakan langkah awal
yang baik untuk menciptakan fungsi RTH yang optimal. Saran Jenis aktivitas
kawasan mempengaruhi fungsi vegetasi pada kawasan tersebut. Kedepannya
diperlukan pengenalan terhadap jenis-jenis tanaman yang merupakan langkah awal
yang baik untuk menganalisis vegetasi dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Analisis Kesesuaian Vegetasi Lokal Untuk
Ruang Terbuka Hijau Jalur Jalan di Pusat Kota Kupang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar